RUMAH ADAT LOMBOK |
Menurut ahli antropolgi cateora, kebudayaan memiliki beberapa komponen seperti kebudayaan material yang mengacu pada hasil ciptaan masyarakat, contohnya senjata atau perhiasan. Kedua, berupa kebudayaan nonmaterial yang berwujud dongeng, lagu ataupun cerita rakyat yang ada di masing-masing daerah di nusantara. Ketiga, adanya sistem kepercayaan yang banyak mempengaruhi masyarakat dalam memandang kehidupan. Selanjutnya yakni komponen yang memuat nilai estetika dan bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Di Indonesia, terdapat beragam suku bangsa. Keberagaman tersebut menciptakan kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan lokal yang kemudian menyatu menjadi kebudayaan nasional. Masyarakat adat pada dasarnya sangat menjunjung tinggi kebudayaan lokal sebagai sebuah warisan budaya dari para leluhur. Namun, tak jarang budaya lokal semakin tergerus karena generasi muda yang seharusnya menjadi pewaris lebih condong terhadapat budaya-budaya asing yang baru.
Kebudayaan lokal dengan beragam keunikan dan ciri khas yang ada, sebenarnya memiliki pesona yang sangat kuat. Pelestarian budaya akan memungkinkan masyarakat asli maupun pengunjung untuk memperlajari kearifan lokal yang termuat di dalamnya. Dan bahkan pesona kebudayaan lokal tak jarang menjadi salah satu daya tarik wisata. Di Lombok misalnya, pulau dengan suku asli Sasak ini memiliki beragam budaya unik. Beberapa diantaranya merupakan budaya hasil dari akulturasi dengan budaya Bali dan Jawa.
Kebudayaan masyarakat Sasak Lombok memang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh kebudayaan Bali dan Jawa. Hal ini juga dipertegas dengan latar belakang historis yang menyebutkan bahwa kerajaan Bali pernah berkuasa sekitar tahun 1678 hingga 1849. Dengan memperhatikan rentang waktu yang cukup lama kekuasaan Bali atas Lombok maka tak aneh jika akulturasi dua kebudayaan, yakni penduduk lokal dan Bali melahirkan sebuah kebudayaan baru dalam kehidupan sosial etnis sasak. Contohnya dalam bidang seni tradisional Cepung, dimana terlihat kedua budaya saling tarik-menarik dan melengkapi satu sama lain.
Berdasarkan catatan Van der Kraan, pengaruh luar yang masuk ke dalam kebudayaan Sasak juga berasal dari Jawa. Hal ini ditandai dengan masuknya agama Islam dalam sistem kepercayaan kehidupan masyarakatnya. Bentuk percampuran dua budaya ini terlihat jelas dalam komponen nonmaterial dalam bidang seni seperti Kesenian Tari Rudad, Gamelan Rebana, Wayang Sasak juga Cilokaq. Berikut akan dijabarkan beberapa contoh kebudayaan lokal masyarakat Sasak Lombok yang lain.
Sistem Kepercayaan dan Bahasa
Di atas telah disebutkan bahwa kebudayaan memiliki beberapa komponen, salah satunya adalah sistem kepercayaan. Sebagian besar masyarakat sasak menganut agama Islam. Agama kedua terbesar adalah Hindu yang banyak dianut oleh-oleh warga keturunan Bali. Beberapa penduduk keturunan Cina menganut Kristen, dan sebagian lagi menganut Budha.
Untuk komunikasi sehari-hari, Bahasa yang banyak digunakan adalah bahasa Sasak. Namun di beberapa wilayah Lombok seperti di kotamadya Mataram ada beberapa perkampungan yang menggunakan bahasa Bali.
Tradisi Pernikahan Sasak
Contoh budaya Sasak lainnya nampak pada acara nyongkolan, yakni salah satu rangkaian dari upacara pernikahan. Nyongkolan berupa arak-arakan rombongan pengantin dari rumah mempelai pria menuju rumah pengantin wanita. Rombongan pengantin ini akan diiringi dengan tabuhan musik tradisional Sasak yang disebut Gendang Beleq. Proses ini biasanya dilakukan menjelang sore pada hari Sabtu dan Minggu.
Adapun tetabuhan Gendang Beleq dimaksudkan agar iring-iringan menarik perhatian masyarakat sehingga tujuan nyongkolan tercapai yakni memperkenalkan pasangan pengantin kepada masyarakat sekitar. Selain itu, Gendang Beleq juga berfungsi untuk mengiringi acara ngurisang (potong rambut bayi), ngitanang (sunatan), begawe beleq (upacara besar), ataupun untuk acara festival seperti ulang tahun kota atau provinsi. Sedangkan di zaman dulu, Gendang Beleq berfungsi sebagai musik perang yang mengiringi ksatria Lombok saat berangkat atau pulang dari medan laga.
Gendang Beleq
Kesenian Lombok |
Kesenian Gendang Beleq telah hadir dengan fungsi sebagai pelengkap kebudayaan serta menjadi salah satu sarana pengungkap makna-makna luhur kebudayaan. Pada sisi lain, kesenian Gendang Beleq memiliki potensi yang sangat besar sebagai media pendidikan bagi masyarakat dan sebagi salah satu sumber devisa bagi negara yang dengan sendirinya dapat pula meningkatkan taraf hidup para seniman pendukungnya.
Nama kesenian Gendang Beleq diambil dari salah satu alat musik yang digunakan yaitu dua buah gendang berukuran besar dan panjang. Bentuk kesenian tradisional Gendang Beleq yang kita temukan dewasa ini merupakan perkembangan bentuk karena pengaruh kesenian Bali yaitu Tawaq-Tawaq. Perubahan bentuk kesenian ini pertama kali terjadi sekitar tahun 1800 M, ketika Anak Agung Gede Ngurang Karang Asem memerintah di gumi Sasak.
Sebelumnya, kesenian Gendang Beleq hanya terdiri atas sebuah Jidur (gendang besar yang berbentuk beduq), sebuah gong dan sebuah suling. Demikian besar pengaruh kebudayaan Bali pada waktu itu, sehingga peralatan kesenian ini berkembang sesuai dengan alat yang digunakan pada kesenian tawaq-tawaq. Akan tetapi, agar tidak meninggalkan nilai-nilai Islam, para seniman suku Sasak pada waktu itu tetap mempertahankan bentuk gendang besar yang menyerupai beduq yang digunakan di masjid. Selain itu, jumlah personil yang digunakan pun dibatasi pada jumlah 13 atau 17 orang pemain. Bilangan ini menunjukkan bilangan rakaat dalam shalat. Demikian pula dengan tata cara memainkan alat ini merupakan implementasi dari pelaksaan shalat berjamaah dan tuntunan hidup bermasyarakat dengan nilai-nilai keislaman.
Sebuah grup gendang beleq biasanya terdiri dari 15 – 17 orang yang biasanya semua laki – laki. Gendang beleq sebenarnya merupakan salah satu instrumen yang ada pada tarian ini. Disebut gendang beleq karena salah satu musiknya adalah gendang beleq (gendang besar). Gendang beleq (gendang besar ) ini biasanya terbuat dari kulit sapi, besi tua dan kayu yang panjangnya bisa mencapai lebih dari satu meter dan disandang pada pundak dua pemain.
Pada umumnya gendang beleq (gendang besar) dicat hitam putih dengan pola kotak – kotak. Di Lombok kedua warna itu memang mempunyai arti simbolis. Hitam adalah lambang keadilan sedangkan putih adalah lambang kesucian. Selain itu, hitam juga diibaratkan sebagai bumi dan putih diibaratkan sebagai langit yang keduanya merupakan kekuatan yang harus selalu ada dalam kehidupan manusia
Tari Rudat
Tari Rudat adalah sebuah tari tradisional yang masih banyak terdapat di Pulau Lombok. Dibawakan oleh 13 penari yang berdandan mirip prajurit. Berbaju lengan panjang warna kuning, celana sebatas lutut warna biru, berkopiah panjang mirip Aladin warna merah yang dililit kain warna putih atau biasa disebut tarbus. Mereka dipimpin oleh seorang komandan yang mengenakan kopiah mirip mahkota, lengkap dengan pedang di tangan.
Biasanya tarian ini dibawakan pada saat upacara khitanan, katam Al Quran, Maulid Nabi peringatan Isra Mi’raj, dan peringatan hari-hari besar Islam lainnya.
Tari Rudat ditarikan sambil menyanyi dengan lagu yang melodi dan iramanya seperti lagu melayu. Syairnya ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Indonesia. Tari Rudat diiringi sejumlah alat musik rebana yang terdiri dari jidur, rebana, dap, mandolin dan biola. Gerak tarian rudat merupakan gerak seni bela diri pencak silat yang menggambarkan sikap waspada dan siap siaga prajurit Islam tempo dulu.
Itulah sebabnya, mereka banyak menggunakan gerakan tangan dan kaki. Kadang tangan diayun kiri kanan, kadang mirip gelombang, tapi di saat lain mereka melakukan gerakan memukul dan menendang.
Sesungguhnya asal-usul kesenian rudat sampai saat ini masih belum begitu jelas. Sebagian berpendapat, bahwa kesenian rudat ini merupakan perkembangan dari zikir zaman dan burdah, yaitu zikir yang disertai gerakan pencak silat. Burdah adalah nyanyian yang diiringi seperangkat rebana ukuran besar.
Pendapat lain mengatakan, konon tari ini berasal dari Turki yang masuk bersama penyebaran agama Islam di Indonesia pada abad XV. Itulah sebabnya, tarian ini kentara sekali warna Islamnya, terutama dalam lagu dan musiknya. Di Lombok Timur dapat kita jumpai dan saksikan hampir di semua Kecamatan.
Seni Bela Diri Perisaian
Kesenian tradisional Sasak yang cukup banyak mendapat sorotan adalah budaya Perisaian. Walaupun pada zaman dulu perisaian digunakan sebagai tarian pemanggil hujan, sekarang perisaian telah berkembang menjadi sebuah permainan rakyat yang terorganisir dalam bentuk event perlombaan yang diselenggarakan dari tingkat desa, hingga kabupaten. Seni bela diri ini menggunakan penjalin (rotan) sebagai senjata dan ende (perisai) yang terbuat dari kulit rusa atau sapi. Pemainnya disebut pepadu, terdiri dari dua orang remaja atau dewasa yang kemudian beradu keterampilan. Tanda kemenangan atas lawan dari seorang pepadu adalah apabila berhasil memukul lawan dibagian kepala hingga bocor (meneteskan darah).
Kain Rarang Tenun khas Lombok di Pengrajin Desa Sukarara merupakan desa penghasil kerajinan tenun songket Lombok yang terkenal. Lokasinya berada di luar jalur jalan negara, Kecamatan Jonggot, Lombok Tengah. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh menggunakan angkutan umum dari Bertais ke Praya dan turun ketika menjelang sampai di Puyung. Kemudian dapat dilanjutkan dengan memakai jasa ojek menuju Sukarara. Desa ini berjarak sekitar 25 km dari kota Mataram. Disarankan, bila berkunjung ke desa ini sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewaan, mengingat angkutan umum yang jarang untuk ditemui.
Seperti dikenal sebelumnya bahwa Sukarara adalah sentra penghasil songket terbesar di Lombok. Hal ini sudah menjadi bagian dari komoditi hingga merambah pasaran luar negeri. Tenun songket merupakan kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan dengan hiasan-hiasan dari benang sintetis berwarna emas, perak, dan warna lainnya. Hiasan itu disisipkan di antara benang lusi. Terkadang hiasan dapat berupa manik-manik, kerang, maupun uang logam.
Setibanya di Sukarara, maka pengunjung akan langsung disambut oleh kaum perempuan berpakaian adat Sasak. Mereka dengan sigap mendemonstrasikan keterampilan mereka dalam menenun. Beberapa toko biasanya menyuguhkan tontonan teknik-teknik menenun kain songket, hal tersebut dapat langsung dilihat oleh para pengunjung. Teknik-teknik tersebut merupakan teknik tradisional sederhana yang masih dilakukan oleh pengrajin, yakni mulai dari mengolah benang (menggunakan pemberat yang diputar-putar dengan jari-jari tangan, pemberat tersebut berbentuk seperti gasing terbuat dari kayu), hingga menjadi selembar kain yang berwarna warni. Pengunjung yang berminat pun dapat turut serta mencoba menenun seperti perempuan-perempuan sasak itu.
Kain tenun rata-rata dikerjakan di rumah (home industry). Hampir setiap rumah memiliki alat tenunnya sendiri. Namun, profesi penenun hanya dilakoni oleh kaum perempuannya saja, sedangkan para pria bekerja sebagai petani di sawah. Ada tradisi unik terkait songket ini, kaum perempuan yang ingin menikah diwajibkan untuk memberikan kain tenun buatannya sendiri kepada pasangan. Apabila belum mampu membuat tenun songket, maka perempuan tersebut belum boleh menikah. Namun, bila nekat ingin menikah juga, maka perempuan tersebut akan dikenakan denda. Denda dapat berupa uang maupun hasil panen padi.
Motif-motif songket yang ditawarkan pun sangat beragam, antara lain motif ayam, motif kembang delapan, motif kembang empat, motif begambar tokek yang merupakan simbol keberuntungan, motif pakerot yang berbentuk horizontal, motif trudak yang berwarna violet, dan masih banyak lagi. Masing-masing motif memiliki maknanya sendiri-sendiri.
Desa Sukarara juga memproduksi tenun ikat. Bahan tenun ikat sangat sederhana yakni terbuat dari bahan katun. Waktu produksi tidak membutuhkan waktu yang lama, cukup satu hari penenun dapat menyelesaikan tenun ikat sepanjang 3 meter. Harga tenun ikat pun bervariasi tergantung bahan pewarna kainnya, apabila terbuat dari pewarna kimia maka dibanderol mulai dari harga Rp.100.000, sedangkan kain yang terbuat dari pewarna alami maka harga dipatok mulai dikisaran harga Rp.150.000.
Untuk harga tenun songketnya pun bervariasi sesuai dengan ukuran, tingkat kesulitan, dan bahan baku yang dipakai. Paling murah didapati harga Rp.50.000 untuk ukuran taplak meja kecil, sedangkan untuk selendang, syal, dan ikat kepala dapat dibanderol harga sekitar Rp. 100.000. Kain tenunan yang dikombinasikan dengan benang emas bisa bernilai sekitar Rp.1,5 jutaan hingga Rp.2,5 jutaan atau lebih.
Salah satu kebudayaan suku Sasak di Lombok adalah tradisi Bau Nyale. Ini merupakan salah satu tradisi sekaligus identitas suku Sasak. Oleh sebab itu, tradisi ini masih tetap dilakukan oleh suku Sasak sampai sekarang. Bau Nyale biasanya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai di pulau Lombok selatan, khususnya di pantai selatan Lombok Timur seperti pantai Sungkin, pantai Kaliantan, dan Kecamatan Jerowaru.
Selain itu, juga dilakukan di Lombok Tengah seperti di pantai Seger, Kuta, dan pantai sekitarnya. Saat melakukan tradisi ini biasanya juga dilengkapi dengan berbagai hiburan pendamping.
Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Sayangnya, kapan kepastian waktu dimulainya tradisi ini masih belum diketahui. Berdasarkan isi babad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad 16. Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak. Dalam bahasa Sasak, Bau artinya menangkap sedangkan Nyale adalah nama sejenis cacing laut. Jadi sesuai dengan namanya, tradisi ini kegiatan menangkap nyale yang ada di laut.
Tradisi Bau Nyale biasanya dilakukan dua kali setahun. Tradisi ini dilakukan beberapa hari sesuai bulan purnama yaitu pada hari ke-19 dan 20 bulan 10 dan 11 dalam penanggalan suku Sasak. Biasanya tanggal tersebut jatuh pada bulan Februari dan Maret. Upacara penangkapan cacing nyale dibagi menjadi dua yakni dilihat dari bulan keluarnya nyale-nyale dari laut dan waktu penangkapannya. Dilihat dari waktu penangkapan juga masih dibagi lagi menjadi jelo pemboyak dan jelo tumpah. Bulan keluarnya nyale dikenal dengan nyale tunggak dan nyale poto. Nyale tunggak merupakan nyale-nyale yang keluarnya pada bulan kesepuluh sedangkan nyale poto keluarnya pada bulan kesebelas. Kebanyakan nyale-nyale keluar saat nyale tunggak. Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang menangkap nyale saat bulan ke-10. Masyarakat menangkap nyale biasanya saat menjelang subuh. Pada saat tersebut, nyale berenang ke permukaan laut. Saat itulah masyarakat menangkap nyale-nyale tersebut.
Cacing laut yang disebut dengan Nyale ini termasuk dalam filum Annelida. Nyale hidup di dalam lubang-lubang batu karang yang ada dibawah permukaan laut. Uniknya, cacing-cacing nyale tersebut hanya muncul ke permukaan laut hanya dua kali setahun.
Tradisi Bau Nyale merupakan sebuah kegiatan yang dihubung-hubungkan dengan kebudayaan setempat. Bau Nyale berawal dari legenda lokal yang melatarbelakangi yakni tentang kisah Putri Mandalika. Menurut kepercayaan masyarakat Lombok, nyale konon merupakan jelmaan Putri Mandalika. Putri Mandalika dikisahkan sebagai putri yang cantik dan baik budi pekerinya. Karena kecantikan dan kebaikannya, banyak raja dan pangeran yang jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadikannya sebagai permaisuri. Putri tersebut bingung dan tidak bisa menentukan pilihannya. Ia sangat bingung. Jika ia memilih salah satu dari mereka, ia takut akan terjadi peperangan. Putri yang baik ini tidak menginginkan peperangan karena ia tidak mau rakyat menjadi korban.
Oleh sebab itulah, putri pub lebih memilih mengorbankan dirinya dengan menceburkan dirinya ke laut dan berubah menjadi nyale yang berwarna-warni. Oleh sebab itu, masyarakat di sini percaya bahwa nyale tidak hanya sekedar cacing laut biasa tetapi merupakan makhluk yang dipercaya dapat membawa kesejahteraan bagi yang menangkapnya. Masyarakat di sini meghormati dan percaya bahwa orang yang mengabaikannya akan mendapat kemalangan. Mereka yakin nyale dapat membuat tanah pertanian mereka lebih subur dan mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Selain itu, nyale juga digunakan untuk lauk pauk, obat dan keperluan lain yang bersifat magis sesuai kepercayaan masing-masing.
Kuliner Lombok
Ciri yang menonjol dalam menu-menu masakan Lombok adalah citarasanya yang pedas. Ini karena beberapa menu terkenal seperti Nasi Puyung, Pelecing Kangkung, Pelecing Manok juga Ayam Taliwang memang didominasi oleh rasa pedas.
Namun ada juga menu lain yang manis seperti jajanan Kelepon Kecerit. Jajanan yang terbuat dari tepung beras dan gula merah ini umumnya berwarna hijau dan berbentuk bola. Ada sensasi ledakan kecil yang membuat cairan gula merah di dalamnya muncrat (kecerit) ketika digigit. Menu khas lain adalah Ares yang sering ditemukan pada acara-acara begawe (pesta/upacara besar). Ares terbuat dari hati batang pisang yang paling muda, dipotong kecil kemudian diberi bumbu. Selain karena menggunakan ragi beleq, yakni istilah bumbu lengkap dalam ragian Sasak, Ares juga membutuhkan proses memasak yang cukup lama. Itulah sebabnya menu ini kadang hanya ditemui dalam acara-acara tertentu seperti pernikahan, kelahiran ataupun kematian.
ConversionConversion EmoticonEmoticon