Mengenal Budaya dan Adat Bali

Bali merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Pulau bali berada diantara pulau lombok dan pulau jawa. Provinsi yang terkenal dengan tempat wisata berkelas internasional ini memiliki adat kebudayaan yang unik, baik dalam seni budaya bali, makanan khas bali, sampai dengan rumah adat suku bali. Kesemuanya memiliki ciri khas tersendiri yang menarik sehingga banyak orang tertarik untuk mengenalnya Pulau Bali lebih jauh.

mengenal budaya bali 2016,
Salah satu Kesenian Bali
Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna 'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'. Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindu memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Mayoritas di Bali menganut Agama Hindu dan sebagian kecilnya terbagi antara Islam, Kristen, Budha Dll. Namun demikian kerukunan antar agama terpelihara dan menciptakan suasana damai dalam bermasyarakat.

Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:

1. Dewa Yadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).

Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun

1. Rumah Adat Bali
Dalam membangun sebuah rumah, biasanya masyarakat bali berpedoman pada Asta Bhumi dan Asta Kosala Kosali atau bisa di artikan seperti fengshui bagi budaya chinese. Masyarakat bali memiliki kepercayaan bahwa sebuah kedinamisan dapat tercapai jika terwujudnya keharmonisan antara Tri Hita Karana (Pawongan, Pelemahan, dan Parahyangan)

mengenal budaya bali 2016,
 Rumah Adat Bali
Rumah adat suku bali harus memiliki susunan ruang seperti pekarangan rumah yang di bagi menjadi 3 bagian atau disebut dengan Tri Angga :

-Utama Mandala; Pekarangan bagian depan yang diperuntukkan untuk tempat suci atau parahyangan
-Madya Mandala; Bagian tengah diperuntukkan untuk penguni rumah atau pawongan
-Nista Mandala; Bagian belakang untuk palemahan

Untuk rumah di desa dataran terbagi menjadi sembilan bagian dengan mengikuti konsep Sanga Mandala sebagai dasar penataan ruangan, yaitu :
penataan ruangan, yaitu :

1.Kaja Kangin/ Utamaning Utama;
2.Kaja/ Utamaning Madya;
3.Kelod-Kauh/ Utamaning Nista;
4.Kangin/ Madyaning Utama;
5.Tengah/ Madyaning Madya;
6.Kauh/ Madyaning Nista;
7.Kelod-Kangin/ Nistaning Utama;
8.Kelod/ Nistaning Madya;
9.Kelod-Kauh/ Nistaning Nista;

Seperti yang dapat kita lihat bahwa arsitektur rumah suku bali dipenuhi dengan hiasan seperti ukiran dan pewarnaan yang cukup unik. Namun jangan kira ukiran atau hiasan tersebut tidak memiliki makna penting bagi masyarakat bali. Ukiran atau hiasan tersebut merupakan simbol ungkapan keindahan serta penyampaian komunikasi. Patung-patung yang ada disetiap rumah adat bali memiliki makna bagi keyakinan/ kepercayaan masyarakat bali dan sebagai simbol-simbol ritual.

-Panyengker karang/ tembok batas rumah;
-Pintu masuk;
-Tempat beribadah/ pamerajan, sanggah;
-Bale daja/ meten/ gedong di sebelah utara rumah;
-Bale dangin di sebelah timur rumah;
-Dapur berada di sebelah selatan;
-Bale dauh berada di sebelah barat;
-Tugu Pangijeng Karang;
-Sumur
-Lumbung tempat penyimpanan beras

Seperti yang sudah kita bahas di atas bahwa rumah adat suku bali di desa dataran memiliki 9 bagian pekarangan. Untuk masyarakat di pegunungan cukup sederhana hanya memiliki 3 bagian yaitu :

-Sanggah;
-Bale meten;
-Bale delod;

2. Pakaian Adat
Pakaian bali yang umum terbagi menjadi 3 fungsi, yaitu pakaian untuk acara keagamaan, pakaian acara pernikahan, dan pakaian adat yang digunakan untuk sehari-hari. Tentu kita pun tau bahwa pakaian adat bali pria dan wanita pasti memiliki perbedaan. Misalnya untuk mengetahui apakah seorang perempuan itu sudah menikah atau masih gadis, bisa kita bedakan dari jenis sanggul yang digunakannya saat ke pura. Perempuan yang masih gadis atau belum menikah menggunakan sanggul pusung gonjer, sedangkan yang sudah menikah menggunakan sanggul pusung tagel.

Ada juga pakaian bali paling mewah, yaitu busana agung yang dikenakan dalam acara tertentu saja seperti acara perkawinan atau acara potong gigi. Pakaian mewah ini ada beberapa variasi yang menyesuaikan dengan momen.

Wastra wali atau wastra putih merupakan kain yang digunakan khusus dalam suatu upacara Sebagai simbol kesucian. Selain menggunakan wastra wali, seorang pria bali juga menggunakan dodot atau kampuh kelagan yang dikenakan sampai menutupi dada. Sedangkan bagi wanita, sebelum menggunakan kain wastra terlebih dahulu menggunakan sinjang atau kain lapis yang berfungsi untuk mengatur langkahnya agar terlihat anggun saat berjalan.

3. Tarian Daerah
Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga terlihat seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali. Atas dasar fungsinya yang demikian maka kesenian merupakan satu fokus kebudayaan Bali. Daerah Bali sangat kaya dalam bidang kesenian, seluruh cabang kesenian tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya yang meliputi seni rupa, seni pertunjukan dan seni sastra.

Seni rupa mencakup satu cabang yang terdiri dari seni pahat, seni lukis dan seni hias. Seni pahat pada masyarakat Bali telah mengalami suatu perkembangan yang panjang yaitu patung-patung yang bercorak megalitik yang berasal dari jaman pra Hindu yang dipandang sebagai penghubung manusia dengan nenek moyang dan kekuatan alam, arca dewa-dewa yang dianggap sebagai media manusia dengan dewa-dewa dan jenis ini merupakan pengaruh Hindu-Budha, patung-patung yang bertemakan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata dan Ramayana, bentuk-bentuk relief yang dipahatkan pada tembok pintu dan tiang rumah, serta patung-patung yang berbentuk naturalis. Begitu pula dengan seni lukis di Bali yang telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, dimulai dengan lukisan-lukisan yang bersifat simbolis magis seperti rerajahan, lukisan-lukisan religius seperti lukisan parba, langit-langit dan ider-ider, serta lukisan-lukisan yang bersifat naturalis.

Untuk seni tari tradisional di Bali berdasarkan fungsinya digolongkan dalam tiga jenis yaitu Tari Wali (Tari Sakral) yang merupakan tarian keagamaan yang dianggap keramat, Tari Bebali merupakan tarian yang berfungsi sebagai pengiring upacara, dan Tari Balih-Balihan merupakan tarian yang berfungsi sebagai hiburan. Jenis tarian sakral atau yang dianggap keramat antara lain : Tari Sanghyang Dedari, Tari Rejang Sutri, Tari Pendet, Tari Baris Gede, Tumbak, Baris Jangkang, Baris Palung, Pusi, Seraman, Tekok Jago, Topeng Pajangan, Wayang Lemah, Wayang Sudamala, Tari Abuang, Tari Bruntuk, Tari Dakamalon, Tari Ngayab, dan Tari Kincang-Kincung. Sedangkan tari yang termasuk kedalam tari balih-balihan diantaranya tari Legong, Barong, Kecak, dan tari Pendet. Alat pakaian atau gander yang digunakan oleh masyarakat akan disucikan atau disakralkan.

Dalam seni musik tradisionalnya, di Bali memiliki juga kesamaan dengan musik tradisional di beberapa daerah yang lain, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat tabuh lainnya. Namun terdapat perbedaan yang sangat signifikan yakni dalam teknik memainkannya dan gubahannya. Dalam budaya Bali, gamelan memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan budaya dan sosial keagamaan.

Kesenian sastra di Bali merupakan hasil warisan budaya yang luhur dan merupakan referensi serta sumber dari bentuk-bentuk lainnya. Sejak jaman dahulu masyarakat Bali telah mengenal tulisan atau aksara Bali. Secara keseluruhan seni sastra di Bali telah mengalami lima jaman yaitu kesusastraan Bali Purwa, kesusastraan Bali Hindu, kesusastraan Bali Jawa, kesusastraan Bali Baru, dan kesusastraan Bali Modern. Contoh dari kesenian sastra Bali adalah cerita Ramayana atau Mahabarata.

Fungsi dan kedudukan seni dalam kehidupan masyarakat Bali
Kehidupan masyarakat Bali dilandasi falsafah Tri Hita Karana artinya 3 penyebab kesejahteraan yang perlu diseimbangkan dan diharmoniskan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Dalam seni musik tradisional atau gamelan Bali, bila dikaitkan dalam konsep Tri Hita Karana gamelan Bali dapat dilihat dari sudut fungsi sebagai berikut :

-Gamelan dalam Konteks Upacara Ritual Keagamaan (Parahyangan)
Gamelan Bali dalam konteks Parahyangan berfungsi untuk mengiringi upacara ritual Hindu. Gamelan yang kini sangat popular pada kehidupan masyarakat Bali yakni gamelan Gong Kebyar, yang fungsinya selain sebagai sarana hiburan, gamelan yang tergolong baru ini juga bisa digunakan dalam mengiringi prosesi upacara Dewa Yadnya. Misalnya pada saat odalan di Pura, Gong Kebyar bisa digunakan untuk mengiringi tari-tari wali seperti tari Topeng, tari Baris Gede, tari Rejang Dewa dan lain sebagainya. Jika dikaitkan dengan konteks Parahyangan, gamelan Gong Kebyar memang banyak fungsinya.

-Gamelan dalam Konteks Sosial (Pawongan)
Hubungan pawongan, salah satunya yaitu penumbuh rasa kebersamaan. Contohnya dalam memainkan gamelan, seorang penabuh dituntut keterampilannya dan mampu mengadakan interaksi antar penabuh yang lainnya agar tercapainya penampilan yang sempurna. Dengan adanya rasa kebersamaan itulah maka rasa persatuan antar penabuh akan tumbuh. Selain itu, antar penabuh atau seniman pun bisa tukar pendapat, saling mengisi, menambah wawasan dan menambah teman baru pula.

-Gamelan dalam Konteks Lingkungan (Palemahan)
Kalau dilihat dari konteks palemahan, gamelan Bali dapat digunakan sebagai musik prosesi pada upacara yang ada hubungannya dalam alam semesta dan lingkungan sekitarnya. Misalnya gamelan Gong Kebyar dan Baleganjur digunakan pada saat upacara mecaru.

-Gamelan dalam Pariwisata dan Ekonomi
Gamelan Bali bisa digunakan untuk penyajian sebuah seni pertunjukkan yang akan dipentaskan kepada wisatawan-wisatawan asing atau domestik yang datang ke Bali. Ada pula wisatawan yang datang ke Bali sengaja untuk melihat pertunjukan pementasan gamelan Bali dan sengaja datang untuk belajar bermain gamelan Bali.

Hal itu membawa dampak yang luar biasa pada perekonomian negara khususnya bagi masyarakat Bali sendiri, yaitu pendapatan perkapita negara yang semula rendah menjadi tinggi akibat berkembangnya pariwisata.
Pada saat ini, gamelan telah menjadi lahan kerja bagi seniman-seniman Bali bila ada wisatawan asing atau domestik yang ingin belajar gamelan Bali, dan oleh hal tersebut menyebabkan banyak bermunculan seniman-seniman profesional yang menyediakan jasa pembuatan tabuh.

Tak heran bila sebagian besar kehidupan masyarakat Bali diwarnai dengan berbagai macam upacara keagamaan, dan di setiap upacara keagamaan tersebut pasti ada sajian-sajian upacara yang diiringi dengan gamelan dan kelompok penari untuk mengisi acara upacara keagamaan tersebut. Namun, dengan berjalannya waktu fungsi kesenian bali yang semula sarana sakral kini sebagian sudah menjadi seni sekuler yang mengarah pada hiburan dan persembahan karya dengan nilai seni yang tinggi. Bagi masyarakat Bali, seni dan kerajinan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Perkembangan Kesenian Bali

Sulit membedakan antara seni dan kehidupan sehari-hari di masyarakat Bali, karena kesenian dan agama sudah seperti dwitunggal, itulah yang membuat kesenian di Bali hingga saat ini masih dapat bertahan sampai sekarang dan terwarisi secara turun-temurun.
Perkembangan kesenian Bali dibagi menjadi fase-fase historis yang meliputi zaman pra-Hindu, zaman pemerintahan Raja-raja Bali, zaman kedatangan orang-orang Majapahit, zaman pemerintahan Belanda, dan zaman kemerdekaan sampai masa kini.

I.Zaman Pra-Hindu

Pada zaman ini seni tari yang dikenal adalah tari primitif yang ditemukan pada upacara-upacara animisme dan dinamisme yang fungsinya untuk menolak bala, menurunkan hujan atau untuk menyembuhkan penyakit. Pada masyarakat Bali sendiri, sisa-sisa kebudayaan seperti itu masih berkembang, contohnya pada tari Sang Hyang Dedari yang merupakan kesenian asli yang sangat tua umurnya, tari tersebut dipertunjukkan dalam upacar keagamaan dan merupakan media keagamaan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Berkembangnya seni suara Bali purba terjadi sebelum abad ke 6, yang merupakan kesusastraan rakyat bercorak tradisi lisan dan dieplajari turun temurun. Terdapat banyak perubahan dalam perjalanannya, tetapi kesusastraan tersebut tetap berkembang pesat hingga muncul beberapa cerita rakyat. Pada zaman itulah diduga kuat sebagai awal cikal bakal berkembangnya lagu-lagu rakyat yang disebut gegendingan yang salah satu contohnya ialah Gending Sang Hyang yang merupakan nyanyian sakral berbahasa Bali.

II.Zaman Pemerintahan Raja-raja Bali

Kesenian Bali mendapat pengaruh kebudayaan Hindu Jawa sejak abad ke 8. Hal tersebut memang belum diketahui secara pasti, namun setelah ditemukannya prasasti Bebetin yang dibuat oleh pegawai Kerajaan Singhamandawa pada bulan ke 10 yang berangka tahun 896 Masehi menyebutkan beberapa jenis seni pertunjukan seperti pamukul, pagending, pabunjing, papadaha, pabangsi dan sebagainya.
Literatur-literatur Bali kebanyakan memberi tekanan pada pengaruh kebudayaan Hindu, dan sangat sedikit menaruh pengaruh pada unsur-unsur kebudayaan Cina dalam kesenian Bali. Hubungan tersebut terlihat dari Barong yang ada di Bali yang berasal dari singa barong Cina yang muncul pada Dinasti T’ang pada abad ke 7 sampai abad ke 10. Pengaruh Cina juga tampak pada peninggalan barang-barang porselin, patung-patung, dan bangunan suci berhiaskan porselin yang mulai muncul di Bali.

III.Zaman Kedatangan Orang-orang Majapahit

Pada abad ke 16 sampai ke 19, kesenian Bali mencapai puncak keemasannya, dan pada saat itulah muncul dan tercipta tari-tarian Gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja, Legong, dan seni klasik lainnya. Pada zaman ini, berkembang pula seni sastra Itihasa yakni seni sastra yang terdiri atas bermacam-macam tembang. Contohnya sastra kakawin Mahabharata dan Ramayana, kidung Panji, peparikan Adiparwa, Bharatayuda, Narasoma, dan Bomantaka yang diciptakan berdasar wiracarita Mahabharata.
Seni rupa yang muncul pada saat itu merupakan seni keagamaan dan seni rupa untuk puri. Perkembangan seni lukis juga muncul gaya kamasan, karya lukis yang berbentuk ornamen wayang yang temanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana. Lukisan wayang tersebut juga berperan dalam bangunan pura dan puri sebagai penghias langit-langit, sebagai gambar dinding, atau sebagai lukisan pada alat-alat ritual. Sedangkan dalam perkembangan seni kerajinan menumbuhkan bentuk kerajinan emas-perak yang terukir indah yang dibuat berupa alat-alat upacara, misalnya tempat sesajen seperti bokor, kendi, cawan, dan sangku. Kemudian seni kerajinan juga mendapatkan pengaruh dari luar yang semakin tajam dengan masuknya patra Cina, Mesir, dan Olanda yang dimasukkan dalam berbagai bangunan pura dan puri.
Kontak Bali dengan dunia Barat menyebabkan tumbuhnya kreasi-kreasi modern dalam kesenian Bali. Kreasi tersebut merupakan ekspresi masyarakat modern dan didalam seni tari ditandai dengan Kebyar di Singaraja pada tahun 1914 yang dibentuk dalam tari kemasan dimana tari yang asalnya klasik, komposisinya diperbaharui, waktunya diperpendek, dan lebih menggunakan improvisasi dan interpretasi dari penari sendiri. Dan pada abad ke 18, muncul grup-grup professional dalam kesenian Bali yang mempertunjukkan tari untuk hiburan dan pementasan untuk kepentingan pariwisata dalam menghibur turis yang berkunjung ke Bali.

IV.Zaman Pemerintahan Belanda

Sejalan dengan pertumbuhan Gong Kebyar dalam seni pertunjukan, pada tahun 1930-an seni rupa mengalami perubahan bentuk dan isi setelah kedatangan dua pelukis warga negara asing yakni Walter Spies dan Rudolf Bonnet yang menetap di Ubud, mereka mulai melukis dengan tema sabungan ayam, upacara piodalan di pura, ngaben, dan sebagainya. Sebelum kedatangan mereka berdua, para pelukis di Ubud melukis wayang gaya kamasan. Gerak seni lukis di Ubud membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan seni patung dengan munculnya para seniman yang menciptakan bentuk-bentuk seni patung orang menari, bermain suling, orang memanah, dan sebagainya.
Pada masa penjajahan Belanda, dunia arsitektur Bali sangat terpengaruh oleh arsitektur Belanda. Peninggalan arsitektru Belanda yang masih terpelihara bail sampai saat ini adalah Istana Karangasem.
Pada tahun 1930-an juga masyarakat Bali mulai membuat seni imitasi, yakni benda ritual seperti Barong, rangda, dan pratima yang dibuat secara masal dan dijual untuk turis.
Pada tahun 1940-an, Bali menerima sebuah bentuk kesenian barat yang dikenal dengan Stambul, yakni sebuah tiruan drama barat yang diduga berasal dari kota Istambul yang mausk ke Indonesia melalui orang-orang Melayu. Lalu stambul tersebut diadaptasikan kedalam kesenian Bali dan dipadukan menjadi tari Janger.

V.Zaman Kemerdekaan Sampai Masa Kini

Sejak 1966 sampai saat ini, perkembangan kesenian Bali mulai menonjol, dan masa kebangkitan kesenian Bali tidak dapat dipisahkan dari usaha pemerintah RI yang sedang membangun. Ada tiga konsep utama yang perlu diperhatikan dalam usaha melestarikan kesenian, yaitu pelestarian ide (gagasan vital), pelestarian materi (ciri-ciri), dan pelestarian keserasian antara keduanya.

4. Senjata Tradisional
Keris Bali, Tombak atau lembing, Wedhung adalah sebuah senjata genggam berbentuk pisau

5. Suku
Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali, atau Krama Bali)

6. Bahasa Daerah
Bali Aga, Bali Majapahit

7. Lagu Daerah
Majangeran, Ratu Anom

VI.Kesimpulan

Karena umumnya masyarakat Bali mayoritasnya beragama Hindu, maka fungsi kesenian pada masyarakat Bali yang utama tidak dapat dipisahkan dari upacara keagamaan, karena setiap mengadakan ritual upacara keagamaan diiringi dengan musik gamelan dan kelompok penari. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi kesenian tersebut melebar luas dari yang tadinya seni hanya sebagai ritual keagamaan, bisa menjadi hiburan atau tontonan untuk para turis atau wisatawan, bisa menjadi lahan pekerjaan, dan sebagainya.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment